Pembiaran Yang berujung pada pembakaran
Sejak tahun 1979 ada 27 gereja di Aceh Singkil. Jika
dibiarkan diperkirakan jumlahnya semakin banyak
Selasa 13/10/2015 pagi, ratusan massa yang tergabung dalam
pemuda peduli Islam (PPI) baru saja
membakar Gereja huria Kristen Indonesia (GHKI) yan terletak di desa Sukamakmur,
Kecamatan Gunung Meriah, Aceh Singkil, Aceh. Tidak ada aksi antisipasi dari
pihak keamanan ketika massa PPI ini berupaya untuk membakar gereja.
Menurut pengakuan Hasiman (26), pemuda yang mengikuti aksi
ini, baru setelah gereja dibakar, polisi melucuti senjata berupa bambu runcing
dan kayu yang di bawa oleh massa PPI. Setelah membakar bangunan GHKI, massa
bergerak menuju geraja tak berizin lainnya di Desa Dangguran, Kecamatan Simpang
Kanan. Lagi-lagi aparat keamanan tidak menghalangi pergerakan massa.
Di Desa Dangguran, massa kembali berniat membakar geraja di
desa itu. “Sekitar 100 meter sebeleum sampai ke lokasi gereja kami dihadang
oleh TNI sekitar 10 orang. Tapi ada tiga teman kami yang lolos dari hadangan
TNI, dan berlari menuju gereja,” terang Hasiman.
Pada saat itu suasana tidak terkendali. Hasiman bercerita
bahwa ia melihat ada sekelompok orang dari atas bukit yang diduga jemaat gereja
memberondong dengan peluru ke arah massa PPI. Posisi gereja yang manjadi target
pembakaran memang berada di bawah bukit. “Mereka yang menembaki kami dari atas
bukit dibiarkan oleh tentara yang berjaga di gereja,” jelas Hasiman.
Akibatnya, satu orang dari massa PPI, Salman bin idal (25)
meninggal dengan luka tembak di bagian kepala. Serta empat pemuda lainnya
Salman (18), Uyung (27) , Asriyanto (21), dan Herman (21) mengalami luka-luka,
baik luka tembak maupun luka memar.
Akar Masalah
Kasus ini bagi pihak yang tidak mengetahui akar masalah
pasti berpendapat bahwa massa PPI ini Intoleran. Sebagian besar tokoh-tokoh
Islam Aceh Singkil mengungkapkan bahwa kasus pembakaran gereja ini karena
ketidak tegasan pemerintah Daerah (Pemda) dalam menindak puluhan gereja liar di
Kabupaten Aceh Singkil.
Zainal Abidin Tanggar, Ketua Forum Imeum Mukim Aceh Singkil
mengatakan, sejak tahun 1979 perkembangan gereka liar di Aceh Singkil sangat
luar biasa. Tercatat hingga tahun 2015 ini ada 27 gereja tak berizin di tanah
Abdul Rauf As-Singkili ini. Padahal, pada tahun 1979 ada kesepakatan antara
Pemda, tokoh Islam dan tokoh Kristen bahwa Aceh Singkil hanya boleh ada satu
Gereja dan empat Undung-undung (gereja kecil).
Keberadaan 27 gerja liar ini membuat resah masyarakat Aceh
Singkil yang mayoritas Muslim. “ Keberadaan gereja-gereja liar ini pun
berkali-kali dilaporkan umat Islam kepada Pemda agar ditindak tegas. Tapi bupati
tidak tegas. Ketidak tegasan inilah yang membuat gereja liar semakin banyak,”
terang Zainal .
Sementara Tengku Hambalisyah Sinaga, juru bicara Forum Umat
Islam Aceh Singkil mengungkapkan bahwa pihak kristen dinilai kerap melanggar
kesepakatan hasil musyawarah. “Pada tanggal 11 Juli 1979 pernah diadakan
musyawarah yang melibatkan tokoh Islam dan Tokoh Kristen. Dibuat kesepakatan
agar pendirian atau rehab gereja dihentikan sebelum mendapat izin dari pemda,”
ujar Hambalisyah.
Kata Hambalisyah, kesepakatan itu dilanggar. Lalu diadakan
musyawarah kembali pada 13 oktober 1979. Pada waktu itu dibuat kembali ikrar
untuk mentaati perjanjian. Tapi, kembali diingkari pihak kristen.
Pihak Kristen terus membangun gereja tanpa izin. Sementara Pemda
tidak bertindak tegas untuk menertibkan gereja-gereja liar tersebut. Hingga pada
tahun 2001 massa membakar gereja tidak berizin. Lalu diadakan lagi musyawarah. Salah
satu kesepakatan pada pertemuan ini adalah pembongkaran gereja-gereja liar.
“setelah kesepakatan ini (2001) kembali tidak ditepati oleh
pihak Kristen. Jangankan membongkar, mereka kembali membangun gereja-gereja
baru hingga 27 unit gereja,” jelas Hambalisyah.
Pada 6 Oktober 2015 atau sepekan sebelum aksi pembakaran
gereja liar, PPI sempat melakukan demonstrasi di kantor bupati menuntut
tindakan tegas bupati terhadap gereja-gereja liar. PPI memberi tenggang waktu
selama sepekan kepada bupati Safriadi untuk bertindak. Jika tidak, maka PPI
membongkar sendiri gereja-gereja itu.
Izin Dulu, Baru Bangun
Namun sehari sebelum massa itu, Bupati Safriadi manik baru
mengeluarkan keputusan, bahwa dari 27 unit itu akan dibongkar sebanyak 10
gereja pada 19 Oktober 2015. Mengenai aksi pembakaran gereja liar oleh massa
PPI, Hambalisyah merasa prihatin. Namun, Hambalisyah tidak bisa menyalahkan
sepenuhnya kepada massa PPI.
“Ini bentuk akumulasi kekecewaan mereka karena pemerintah
tidak tanggap. Umat Islam sudah bersabar menjalani tahap-tahap prosedural,”
tegas Hambalisyah.
Yuli Ardin, wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kapupaten
(DPRK) Aceh Singkil mengatakan memang ada pembiarandari pemerintah atas
menjamurnya gereja liar. Pemerintah, baik dari kecamtan hingga kabupaten tidak
pernah memberikan teguran.
Yuli kemudian bercerita, setelah mendapat desakan umat Islam
tentang menjamurnya gereja liar, Bupati Safriadi kemudian mengajak kepada pihak
gereja liar untuk mengurus izin pendirian rumah ibadah. “itu juga salah.
Mestinya sebelum mendirikan bangunan, kantongi dulu IMB.
Tapi ini terbalik, bangun gereja dulu, ngurus izin
belakangan. Kalau mau mengurus izin, bongkar dulu itu gerejanya. Ini akan
menjadi preseden buruk untuk kedepannya,”ujar Yuli.
Shalihin mizal, kepada kementrian agama kabupaten Aceh
Singkil mengatakan bahwa kunci terciptanya kehidupan rukun antar umat beragama
adalah mematuhi peraturan yang sudah ada. Shalihin menjelaskan bahwa untuk
mendapat izin membangun rumah ibadah di Aceh maka berpedoman pada peraturan
Gubernur Nomor 25 tahun 2007.
“kalau lingkup nasional ada surat keputusan Berdsama (SKB) 2
mentri tentang pembangunan rumah ibadah, maka di Aceh ada Pergub. Perbedaannya,
kalau SKB jamaah satu rumah ibadah yang ingin dibangun harus 120 dan warga yang
mendukungnya. Pergub Aceh, jamaah 120 orang dan mendapat dukungan 160 orang
terang Shalihin. *Ibnu Syafaat/ Majalah Suara Hidayatullah EdisiNovember 2015
hal. 40-41
Posting Komentar