Prinsip keseimbangan dalam islam menyangkut semua aspek,
termasuk dalam bidang tsyri’ (penetapan syariat). Syariat islam sangat
memperhatikan prinsip keseimbangan dalam menentukan soal halal dan haram,
sunnah dan makruh, boleh dan tidak boleh. Tidak seperti agama yahudi yang mudah
mengharamkan, dan juga tidak seperti agama nasrani yang sangat longgar dalam
menghalalkan segala hal.
Bani Israil banyak mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh
Allah swt. Mereka melakukan itu semata-mata karena keinginan mereka sendiri.
Disamping itu banyak juga hal-hal yang diharamkan Allah karena kedzaliman
mereka.
“Maka disebabkan
kedzaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang
baik-baik (yang dulunya) dihalalkan bagi mereka. Dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Alla, dan disebabkan mereka memakan riba,pada
sesungguhnya mereka telah dilarang untuk memakannya dan karena mereka memakan
harta orang lain dengan jalan bathil.”(An-Nisa: 160-161)
Sebaliknya agama nasrani sangat longgar dalam menetapkan
halal dan haram. Mereka berlebihan dalam membolehkan dan menghalalkan. Banyak
yang dahulunya diharamkan, Kitab Taurat kini menjadi halal dalam injil. Bahkan
misi Injil disebutkan sebagai pembebas atas belenggu kebebasan. Para pendeta
kristiani mengumumkan bahwa segala sesuatu itu suci bagi orang-orang yang suci.
Islam datang dengan membawa ideologi wasathiyah yang tidak
gampang mengharamkan sebagaimana kaum Yahudi dan tidak mudah menghalalkan
sebagaimana kaun Nasrani. Islam datang dengan membawa ketentuan bahwa yang
berhak mengharamkan dan menghalalkan atas segala sesuatu adalah Allah. Manusia
tidak punya tasyri’. Allah tidak menghalalkan kecuali yang baik dan bermanfaat.
Allah juga tidak mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek dan membahayakan.
Contoh wasathiyah dalam tasyri’ adalah soal thalak atau
cerai. Dalam pemahaman kristen dan katholik, cerai itu hukumnya haram mutlak.
Sekalipun sebuah keluarga sudah tidak mungkin dihimpun kembali dalam biduk
rumahtangga, sekali menikah selamanya harus tetap adalam ikatan nikah. Dapat dibayangkan
berapa banyak individu yang hidup menderita dalam sebuah rumah.
Sebaliknya, syari’at islam tidak longgar memberi kemudahan
kepada mereka yang hendak cerai. Di klangan tertentu. Kawin cerai kadang sudah
menjadi kebiasaan yang dimaklumi. Padahal nikah dan cerai tidak boleh menjadi
gaya hidup.
Islam memandang pernikahan merupakan ikatan suci, janji
setia yang tidak boleh dikhianati, mitsaqan
ghalihah. Begitu suci dan kuatnya,
Al-Qur’an mensejajarkan ikatan pernikahan itu seperti ikatan janji malaikat
kepada tuhannya. Juga ikatan janji para Rasul kepada Allah.
Terhadap masalah Thalak ini Allah menetapkan, Thalak (yang dapat dirujuk)itu dua kali. Setelah
itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang
baik.”(Al-Baqarah :229)
Itulah wasathiyah
dalam islam. Semoga kita dapat menerapkan dalam segala hal.
Sumber : Majalah Hidayatullah edisi Mei 2015
Posting Komentar